Senin, 20 Oktober 2025

Ritual Adat Dayak Ngaju, Doa yang Mengiringi Pembangunan Jembatan Sei Asam

A+A-
Reset

Kuala Kapuas, kaltengtimes.co.id – Pagi itu, Jumat (3/10/2025), suasana di tepian Sungai Kapuas Hilir tampak berbeda. Asap dupa perlahan mengepul, berpadu dengan aroma dedaunan segar dan suara gemericik air sungai. Di sebuah lokasi yang tak lama lagi akan menjadi pondasi Jembatan Sei Asam – Balai Pertanian, masyarakat adat Dayak Ngaju berkumpul. Mereka datang dengan pakaian sederhana, namun penuh kesungguhan, untuk melaksanakan ritual adat sebagai tanda restu atas pembangunan yang akan segera dilanjutkan.

Ritual sebagai Penghubung Alam dan Manusia

Prosesi adat dimulai dengan Manaur, dilanjutkan Tampung Tawar dan Ma Ancak. Sesaji tersusun di atas wadah tradisional, berisi hasil bumi dan simbol-simbol kehidupan. Ritual dipimpin oleh Kristian Stevanus, S.Sos, tokoh muda sekaligus budayawan Kapuas Hilir yang akrab disapa Dedon. Dengan penuh khidmat, ia memimpin doa, menyampaikan permohonan kepada Ranting Hatala Langit—Sang Pencipta dalam kepercayaan Dayak Ngaju.

“Ritual ini bukan sekadar tradisi turun-temurun, tetapi bentuk penghormatan kepada roh leluhur, serta doa agar pembangunan berjalan aman, lancar, dan memberi keselamatan bagi semua yang terlibat,” ujar Kristian di sela prosesi.

Dalam budaya Dayak, Tampung Tawar memiliki makna menolak bala dan menghadirkan keseimbangan. Percikan air suci yang ditaburkan tidak hanya ditujukan kepada para pekerja, tetapi juga kepada alat-alat berat yang akan digunakan. Sementara Tawur di lokasi pembangunan menjadi simbol penyelarasan energi, agar tanah, air, dan manusia menyatu dalam harmoni.

Jembatan yang Dinanti Warga

Jembatan Sei Asam bukan sekadar proyek fisik. Bagi masyarakat Kapuas Hilir, jembatan ini adalah harapan yang lama ditunggu. Saat ini, akses warga masih terbatas, terutama bagi petani yang harus membawa hasil bumi melewati jalur yang berliku dan sulit dilalui ketika musim hujan.

“Kalau jembatan ini jadi, tentu sangat membantu kami. Hasil panen lebih mudah dibawa, biaya transportasi bisa lebih murah, dan akses ke pasar juga cepat,” ungkap Junaidi, seorang petani padi dari Sei Pasah.

Ia mengaku senang karena pemerintah tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga menghargai kearifan lokal dengan mendahului pembangunan lewat prosesi adat. “Itu artinya, pembangunan ini bukan hanya urusan pemerintah, tetapi juga restu leluhur,” tambahnya.

Keseimbangan Pembangunan dan Budaya

Langkah pemerintah daerah yang melibatkan masyarakat adat mendapat apresiasi luas. Menurut tokoh masyarakat Kapuas Hilir, hal ini menjadi contoh bahwa pembangunan fisik dapat berjalan beriringan dengan pelestarian nilai budaya.

“Pembangunan jembatan bukan sekadar untuk mempercepat mobilitas, tetapi juga memperkuat identitas kita sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adat. Doa dan restu leluhur adalah bagian penting dari perjalanan pembangunan ini,” kata seorang mantir adat yang turut hadir dalam prosesi.

Harapan untuk Generasi Mendatang

Ketika prosesi adat usai, suara doa masih terngiang di telinga masyarakat. Semua berharap agar pembangunan berjalan lancar hingga selesai tepat waktu. Lebih dari itu, mereka menginginkan agar jembatan ini menjadi warisan yang membawa manfaat lintas generasi.

“Harapan kami sederhana: jalan terbuka, akses mudah, anak cucu bisa menikmati, dan ekonomi masyarakat semakin meningkat,” ujar Kristian menutup prosesi dengan senyum.

Hari itu, ritual adat menjadi pengingat bahwa pembangunan bukan hanya soal beton dan besi, tetapi juga tentang doa, budaya, dan harapan. Di tepian Sungai Kapuas Hilir, masyarakat Dayak Ngaju telah menitipkan restu leluhur agar Jembatan Sei Asam kelak berdiri kokoh sebagai penghubung kehidupan. (red/nas)

Berita Terkait