Pengetahuan-pengetahuan yang ada di Thus, agaknya tidak cukup memadai untuk membekali al-Ghazali. Untuk itu, ia kemudian pergi ke Naisabur, salah satu dari sekian kota ilmu pengetahuan yang terkenal pada zamannya. Di sini, ia belajar ilmu-ilmu yang populer pada saat itu, seperti belajar tentang mazhab-mazhab fikih, ilmu kalam dan ushul, filsafat, logika, dan ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini, seorang ahli teologi Asy’ariah yang paling terkenal pada masa itu dan profesor terpandang di Perguruan Nizamiyah di Naisabur.
Karena kecerdasan yang dimilikinya, semua ilmu tersebut dapat dikuasai dalam waktu yang singkat. Bahkan, al-Ghazali sempat menampilkan karya perdananya dalam bidang ilmu fikih, yaitu Mankhul fi ‘Ilmi al-Ushul. Dengan demikian, semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya selama di Naisabur.
Boleh dikatakan, saat itu al-Ghazali telah tampak sebagai figur intelektual yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di sekolah Nizamiyah ini pula ia diangkat menjadi dosen dalam usia 25 tahun.
Kemudian setelah gurunya, alJuwaini, wafat 478 H al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan berhubungan baik dengan Nizam al-Mulk, Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk, yang kemudian mengangkatnya menjadi guru besar di Perguruan Nizamiyah Bagdad. Pengangkatannya ini juga didasarkan atas reputasi ilmiahnya yang begitu hebat.